Antara Jesus Dan Jokowi (Tanggapan Untuk Artikel Rohaniawan Katholik) 1
Oleh: Dr. Adian Husaini
DUKUNGAN kalangan
Kristen (Protestan dan Katolik) terhadap Jokowi untuk menjadi Presiden
Indonesia 2014-2019 dilakukan secara terbuka, bahkan sangat
menggebu-gebu, sehingga terkesan melampaui batas kepatutan. Pada 29
April 2014, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) yang merupakan
induk gereja Protestan di Indonesia, bersama sejumlah LSM pengusung isu
HAM, membuat pernyataan yang menolak pencapresan Prabowo Subianto.
Dengan mengatasnamakan “Gerakan Kebhinekaan untuk Pemilu Berkualitas
(GKPB)”, mereka mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak memilih
Prabowo.
Dari kalangan Katolik, sebuah
dukungan terbuka terhadap Jokowi disuarakan oleh pastor Aloysius Budi
Purnomo, melalui artikel berjudul “Jesus, Jokowi, dan Keselamatan Rakyat” di
Harian Sinar Harapan
(http://sinarharapan.co/news/read/140417053/Jesus-Jokowi-dan-Keselamatan-Rakyat,
17/4/2014). Artikel Aloysius ini segera memicu kontroversi yang luas.
Itu karena Aloysius membenarkan adanya sejumlah persamaan antara Jokowi
dan Jesus, dengan menggunakan perspektif teologi Kristen.
Disebutkan, bahwa diantara persamaan
antara Jesus dan Jokowi adalah: (1) keduanya sama-sama berinisial
huruf J, (2) baik Jesus maupun Jokowi sama-sama anak tukang kayu, (3)
keduanya sama-sama mencintai rakyat kecil, tersingkir, dan difabel, (4)
sama seperti Jesus, Jokowi suka blusukan, menjumpai rakyat kecil, (5)
konon keduanya sama-sama berasal dari Jawa Tengah, yang dalam hal ini
terdapat perbedaan; Jokowi adalah orang Solo, sedangkan Jesus orang
“Kudus”.
Meskipun persamaan itu bersumberkan pada “guyonan”, Aloysius menjelaskan:
“Guyonan itu hemat saya merupakan
harapan. Kami umat Kristiani, terutama saya sebagai orang Katolik yang
notabene juga seorang pastor, tidak merasa tersinggung dengan guyonan
itu. Tidak masalah Jokowi disandingkan dengan Jesus. Itu bukan
pelecehan, juga bukan penghinaan! Pastinya, Jesus akan tersenyum simpul
membaca atau mendengar guyonan tersebut. Dipastikan pula Ia tidak
marah.”
Lebih jauh ditulis oleh Aloysius:
“Jangankan disamakan dengan Jokowi yang menjadi tokoh fenomenal dan
kerinduan masyarakat kecil menjadikannya pemimpin masa depan, Jesus
bahkan menyamakan diri dengan mereka yang lapar, haus, yang telanjang,
terpenjara, sakit, dan orang asing (Matius 25:30). Jesus berkata, “Apa
pun yang kamu lakukan untuk salah satu dari saudaraku yang paling hina
itu, kamu lakukan untuk Aku!”
Sebagai seorang muslim, saya
berasumsi, bahwa yang ditulis oleh teolog Katolik itu adalah hal yang
sebenarnya, seperti yang ia pahami.; bukan untuk tujuan pencitraan
Jokowi. Aloysius tentu memahami, bahwa munculnya Jokowi sebagai tokoh
fenomenal sangat didukung oleh pencitraan media. Tanpa menafikan
prestasi dan pribadinya yang sederhana, masyarakat Indonesia tidak akan
mengenal Jokowi jika sejumlah media massa tidak mengangkat Jokowi begitu
dahsyatnya, sehingga dicitrakan sebagai sosok “juru selamat”, termasuk
apa yang dilakukan oleh Aloysius melalui artikelnya.
Dalam hal keberpihakan terhadap
rakyat kecil ini, menyamakan antara Jesus dengan Jokowi juga perlu
dipertanyakan. Dalam Bibel sendiri dijelaskan, bahwa Jesus justru
melawan penguasa global dan penguasa agama (Yahudi) ketika itu. Fakta
dan sejumlah manuver Jokowi justru menunjukkan, bagaimana kuatnya
dukungan kaum berduit dan penguasa global saat ini. Dalam Matius 25:30
disebutkan: “Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam
kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak
gigi.” (Alkitab, versi LAI, tahun 2007).
Tentang Teologi “Blusukan”
Aloysius menulis bahwa ribuan
tahun silam – sebelum Jokowi — Jesus memang punya hobi blusukan.
Kehadiran-Nya di dunia sebagai “Sang Sabda yang menjadi manusia dan
tinggal di antara kita” (Yohanes 1:14) sudah merupakan blusukan perdana.
Blusukan itulah yang disebut penjelmaan Sang Sabda menjadi manusia.
Itulah teologi inkarnasi.
Masih menurut Aloysius, dalam
perspektif iman Kristiani, Jesus disebut “Putra Allah yang Mahatinggi”,
yang sejak awal mula bersama-sama dengan Allah dalam kesatuan kasih
mesra. Namun karena begitu besar kasih Allah terhadap dunia, Allah
berkenan mengutus Putra yang tunggal ke dunia agar setiap orang yang
percaya kepada-Nya beroleh hidup kekal (bandingkan Yohanes 3:16).
Percaya kepada-Nya tentu saja tidak boleh dipahami saklek harus menjadi
Kristiani dan dibaptis formal.
“Karl Rahner berterminologi yang
disebut baptis batin, yakni semua orang yang menerima keberadaan-Nya dan
percaya Dialah Sang Juruselamat, mewujudkan sikap itu dalam setiap
tindakan baik, benar, dan suci. Konsili Vatikan II, melalui dokumen
Lumen Gentium (LG) dan Nostra Aetate (NA) menegaskan, Katolik tidak
menolak apa pun yang serba benar, baik, dan suci, yang ada dalam setiap
agama dan kebudayaan sebagai hal yang tidak berlawanan dengan Jesus
Kristus (bandingkan LG 16 dan NA 2),” tulis Aloysius.
Begitulah opini yang dikembangkan Aloysius.
Menarik membaca tulisan Aloysius
itu, bahwa pengertian percaya kepada Yesus sebagai Putra yang tunggal
itu tidak harus menjadi Kristiani dan dibaptis secara formal. Ia
mengenalkan istilah “baptis batin” yang katanya disebutkan oleh teolog
Jerman Karl Rahner. Tidak jelas benar apa yang dimaksudkan oleh
Aloysius dengan “babtis batin”. Sebab, Karl Rahner sendiri dikenal
dengan gagasannya tentang “anonymous Christianity” (Kristen tanpa nama).
Bahwa, orang-orang yang belum mengenal Jesus dapat dikategorikan
sebagai “Kristen” tapi “tanpa nama”, meskipun mereka sudah memeluk
agama tertentu. Hanya saja, Rahner berpendapat, bahwa agama orang-orang
itu tidak sah lagi jika misi Kristen sudah sampai pada mereka dan Bibel
diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
“Once
a religion really confronts the gospel – once the gospel is translated
into the new culture and embodied in community – than that religion
loses its validity,” tulis Karl Rahner seperti dikutip Paul F.
Knitter dalam bukunya, No Other Name? A Critical Survey of Christian
Attitudes toward the World Religion (London: SCM Press Ltd., 1985).
Jadi, dalam perspektif teologi
inklusif model Karl Rahner, setelah agama Kristen disebarkan ke
Indonesia, maka agama-agama selain Kristen sudah tidak sah lagi.
Dalam artikelnya, Aloysius juga
menyebut, bahwa tokoh Hindu Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan
mengasihi-Nya. Ditulis oleh Aloysius: “Jesus Kristus itu unik sekaligus
universal. Tak heran tokoh Hindu dan pemimpin India bernama Mahatma
Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya, terutama dengan ajaran
ahimsa, mengasihi musuh. Tokoh politis India tersebut sangat menghayati
sabda bahagia yang menjadi bagian dari khotbah di bukit yang disampaikan
Jesus dan dicatat dalam Injil.”
Benarkah Mahatma Gandhi bersikap
simpatik terhadap Jesus seperti yang ditulis Aloysius itu? Tahun 2012,
penerbit Media Hindu, menerbitkan buku berjudul “Dialog Gandhi dengan
Missionaris tentang Kristen dan Konversi”. Buku ini aslinya berjudul
“Gandhi on Christianity” (Maryknoll New York: Orbis Books, 1991). Buku
ini memaparkan sikap kritis Gandhi terhadap kepercayaan kaum Kristen
pada Jesus:
“Saya menganggap Yesus sebagai seorang guru besar kemanusiaan, tapi saya tidak
menganggap dia sebagai satu-satunya
anak yang dilahirkan Tuhan. Julukan itu dalam penafsiran materialnya
tidak dapat diterima. Secara kiasan kita semua adalah anak-anak yang
dilahirkan Tuhan, tapi untuk masing-masing kita mungkin ada anak-anak
lain yang dilahirkan Tuhan dalam pengertian khusus… Saya percaya dengan
kesempurnaan untuk menjadi sempurna dari hakikat manusia. Yesus telah
menjadi sedekat mungkin pada kesempurnaan itu. Mengatakan bahwa dia
sempurna sama dengan menolak superioritas Tuhan atas manusia… Saya juga
tidak memerlukan ramalan-ramalan dan keajaiban-keajaiban untuk mengakui
kebenaran Yesus sebagai seorang guru. Tidak ada yang lebih ajaib dari
tiga tahun kependetaannya, “Tidak ada keajaiban dalam sejarah manusia
yang dihidupi dengan segenggam roti. Seorang tukang sulap dapat membuat
ilusi (tipuan pandang) semacam itu. Tapi terkutuklah hari ketika seorang
pesulap dihormati sebagai penyelamat kemanusiaan.” (hal. 124-125).
Tentang keselamatan universal – baik
bagi yang percaya atau yang tidak percaya kepada Ketuhanan Jesus –
Aloysius menulis: “Blusukan-Nya mendatangkan keselamatan universal bagi
semua orang, yang mengimani Dia, maupun yang tidak mengimani-Nya, bahkan
yang memusuhi-Nya. Itu karena Ia pun berdoa bagi orang-orang yang
menyalibkan-Nya agar diampuni Allah, yang disebut-Nya Bapa, sebab mereka
tidak tahu yang mereka perbuat (Lukas 23:34 dan paralelnya).”
Membaca tulisan Aloysius tersebut,
kita dapat bertanya, benarkah orang yang tidak mengimani Yesus juga
mendapatkan keselamatan, sebagaimana digambarkan oleh Pastor Aloysius?
Masalah keselamatan universal ini telah menyita perdebatan panjang dalam
internal Kristen. Benarkah ada keselamatan di luar gereja Katolik? Jika
memang ada, untuk apa Gereja Katolik memerintahkan kaum Katolik untuk
menjalankan misinya agar percaya kepada Yesus.
Dalam artikelnya, Aloysius
mengenalkan diri sebagai “rohaniwan”, budayawan interreligius, dan
Wakil Ketua FKUB Jawa Tengah. Sebagai rohaniwan Katolik, Aloysius
tetunya sangat paham tentang perdebatan seputar wacana “keselamatan di
luar gereja Katolik”. Sebelumnya, Gereja berpegang pada doktrin “extra
ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan).
Kemudian, Konsili Vatikan II (1962-1965), menetapkan satu dokumen Nostra
Aetate yang bersifat cukup simpatik terhadap agama lain, termasuk
Islam. Tetapi, sejumlah dokumen Konsili Vatikan II juga mempertahankan
sikap eksklusifitasnya dalam soal keselamatan.
Dekrit ‘ad gentes’ mewajibkan aktivitas misi Katolik ke seluruh umat manusia:
“Therefore,
all must be converted to Him, made known by the Church’s preaching, and
all must be incorporated into Him by baptism and into the Church which
is His body… And hence missionary activity today as always retains its
power and necessity.” (Karena itu, haruslah semua orang
dikonversikan kepada Dia, Yang dikenal lewat misi Gereja; semua manusia
harus menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja dengan pembaptisan, yang
adalah Tubuhnya… Oleh sebab itu, aktivitas misi Kristen dewasa ini
senantiasa tetap mempunyai kekuatannya dan tetap dibutuhkan).
Tahun 1990, induk Gereja Katolik di
Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan
menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya
Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang
disampaikan 8 Desember 1975, yang menyebutkan: “Pewartaan pertama juga
ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama
bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan
“benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan
suatu “persiapan bagi Injil” yang benar… Kami mau menunjukkan,
lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun
penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya
masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja
untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen.
Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui
kekayaan misteri Kristus.”
Dalam pidatonya pada 7 Desember
1990, yang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus),
yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja,
masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua
sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh
atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di
tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan
sepenuh hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para
bangsa” (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu
saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan
pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya.”
Menyimak sejumlah dokumen Gereja
Katolik tentang kewajiban menjalankan misi Kristen untuk membaptis
seluruh manusia, maka patut ditanyakan, apakah dukungan kaum Kristen
kepada Jokowi merupakan bagian dari aktivitas misi tersebut? Bisanya,
agak berbeda dengan kaum Kristen evangelis yang menyampaikan misi dengan
“vulgar”, Geraja Katolik menjalankan misinya dengan halus melalui
program akulturasi atau kemanusiaan.
Jadi, apa sebenarnya misi kaum Kristen yang secara menggebu-gebu mendorong Jokowi sebagai calon Presiden RI? Wallahu a’lam.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking