Hadits Isa Tentang Hakim Yang Adil
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْزِلَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا وَإِمَامًا عَدْلاً فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ وَيَفِيْضُ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ
Dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda: “Tidak akan terjadi hari kiamat hingga Nabi Isa turun (ke bumi) menjadi seorang hakim yang bijaksana dan pemimpin yang adil, menghancurkan salib, membunuh babi-babi, meletakkan upeti, harta melimpah-ruah hingga tidak ada seorangpun yang menerimanya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya
no. 10001 dan 10522; Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitabul Buyu’ bab Qatlil
Khinziri no. 2222, Kitabul Mazhalim bab Kasri Ash-Shalib wa Qatlil
Khinziri no. 2476, Kitab Ahaditsil Anbiya` bab Nuzuli ‘Isa bin Maryam
no. 3448, 3449; Al-Imam Muslim dalam Kitabul Iman bab Nuzuli Isa bin
Maryam Hakiman Bisyariati Nabiyyina Muhammad n no. 242; Al-Imam
At-Tirmidzi dalam Kitabul Fitan ‘an Rasulillah, no. 2233; Al-Imam Abu
Dawud dalam Kitabul Malahim no. 3766; Ibnu Majah dalam Kitabul Fitan
no. 6048. (CD Program Mausu’atul Hadits Asy-Syarif Al-Kutubut Tis’ah,
Fathul Bari, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits)
Jalur Periwayatan Hadits
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari lima jalan:
Pertama: dari jalan Laits bin Sa’d Abul Harits
Al-Fahmi, dari Muhammad bin Muslim Abu Bakr Al-Qurasyi Ibnu Syihab
Az-Zuhri, dari Sa’id bin Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi.
Kedua: dari jalan Sufyan bin Husain Abu Muhammad
Al-Wasithi, dari Az-Zuhri, dari Hanzhalah bin ‘Ali Al-Aslami, dari Abu
Hurairah, dari Nabi.
Ketiga: dari jalan Laits bin Sa’d Abul Harits
Al-Fahmi, dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi Abu Sa’d, dari ‘Atha` bin
Mina’ Abu Mu’adz Al-Madani, dari Abu Hurairah dari Nabi.
Keempat: dari Fulaih bin Sulaiman Abu Yahya
Al-Khuza’i, dari Al-Harits bin Fudhail Abu Abdillah Al-Anshari, dari
Ziyad bin Mina’, dari Abu Hurairah, dari Nabi.
Kelima: dari jalan Muhammad bin Abdillah
Az-Zubairi Abu Muhammad Al-Asdi, dari Katsir bin Zaid Abu Muhammad
Al-Aslami Al-Fahmi, dari Al-Walid bin Rabah Ad-Dausi, dari Abu Hurairah,
dari Nabi.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari dua jalan:
Pertama: dari jalan
Laits bin Sa’d Abul Harits Al-Fahmi, Sufyan bin ‘Uyainah Abu Muhammad
Al-Hilali, dan Shalih bin Kaisan Abu Muhammad Al-Madani, semuanya dari
Az-Zuhri, dari Sa’id, dari Abu Hurairah, dari Nabi.
Kedua: dari jalan ‘Uqail bin Khalid Abu Khalid
Al-Aili dan Yunus bin Yazid Al-Aili dan Abdurrahman bin ‘Amr Abu ‘Amr
Al-Auza’i, semua meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Nafi’ bin ‘Abbas Abu
Muhammad Al-Madani, dari Abu Hurairah, dari Nabi.
Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari jalan Laits bin
Sa’d Abul Harits Al-Fahmi, Sufyan bin ‘Uyainah Abu Muhammad Al-Hilali,
Yunus bin Yazid Abu Zaid Al-Aili, dan Shalih bin Kaisan Abu Muhammad
Al-Madani, semuanya meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Sa’id bin Musayyab,
dari Abu Hurairah dari Nabi.
Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari jalan Hammam
bin Yahya Al-Azdi Al-‘Audi Abu Abdillah, dari Qatadah bin Di’amah
As-Sadusi Abul Khaththab, dari Abdurrahman bin Adam Al-Bashri, dari Abu
Hurairah, dari Nabi.
Al-Imam At-Tirmidzi t meriwayatkan dalam Sunan-nya dari jalan Laits
bin Sa’d, dari Az-Zuhri, dari Sa’id bin Musayyab, dari Abu Hurairah,
dari Nabi.
Ibnu Majah t meriwayatkan dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah, dari Az-Zuhri, dari Sa’id bin Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi.
Demikianlah kesimpulan jalur periwayatan hadits di atas, meskipun
pada sebagian jalur periwayatannya terdapat kesamaan dan sebagian yang
lain terdapat tambahan.
Penjelasan Hadits
• Lafadz:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْزِلَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ
“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga Nabi Isa turun (ke bumi).”
Dalam sebagian riwayat dengan lafadz لَيَنْزِلَنَّ (sungguh-sungguh akan
turun). Lihat Musnad Al-Imam Ahmad no. hadits 10001.
Ada pula yang meriwayatkan dengan lafadz لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ
فِيكُمْ dengan men-dhammah ya mengkasrah sin. Maknanya adalah
لَيَقْرُبَنَّ (Telah dekat atau keharusan terjadi secepatnya). (lihat
Fathul Bari 6/553 cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi, 1/469)
Lafadz ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya dan Al-Imam At-Tirmidzi.
• lafadz حَكَمًا maknanya adalah حَاكِمًا yaitu seorang hakim. Di
mana Nabi Isa akan memutuskan perkara dengan syariat (Islam), karena
syariat ini tidak akan dihapus. Beliau tidak diturunkan sebagai seorang
nabi dengan membawa risalah tersendiri dan syariat yang menghapus
syariat sebelumnya.
Nabi Isa akan menjadi salah seorang hakim dari sekian hakim yang
ada pada umat ini. Yang menguatkan perkara ini sebuah riwayat yang
diriwayatkan Al-Imam Ath-Thabarani dari hadits Abdullah bin Mughaffal,
Rasulullah
bersabda: “Akan turun Nabi Isa bin Maryam membenarkan kerasulan Muhammad atas agama yang dibawanya.”
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalan Shalih bin Kaisan dari
Az-Zuhri dari Sa’id dari Abu Hurairah dengan lafadz حَكَمًا عَدْلًا
yaitu seorang hakim yang adil. Adapun riwayat yang lain semuanya dengan
lafadz حَكَمًا مُقْسِطًا seperti riwayat Laits dari Ibnu Syihab dalam
Shahih Muslim.
Al-Imam Muslim juga meriwayatkan dari jalan lain dari Ibnu
‘Uyainah dari Ibnu Syihab dengan lafadz إِمَامًا مُقْسِطًا. Makna
الْمُقْسِطُ yaitu العَادِلُ artinya seorang yang adil.
Kalimat ini berasal dari kata:
أَقْسَطَ يُقْسِطُ إِقْسَاطًا فَهُوَ مُقْسِطٌ إِذَا عَدَلَ
Karena lafadz القِسْطُ dengan mengkasrah qaf memiliki makna
العَدْلُ artinya keadilan. Berbeda dengan القَاسِطُ maknanya adalah
الْجَائِر artinya seorang yang lalim.
Kalimat ini berasal dari kata:
قَسَطَ يَقْسُطُ قَسْطً فَهُوَ قَاسِطُ إِذَا جَارَ
Karena lafadz القَسْطُ dengan memfathah qaf memiliki makna الجَوْرُ
artinya ketidakadilan (kelaliman). (lihat Al-Fath, 6/553 cet. Darul
Hadits, Syarh An-Nawawi 1/469 cet. Darul Hadits)
• Makna lafadz فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ adalah menghancurkan salib
secara hakiki, dan menyalahkan atau membatalkan pendapat orang-orang
Nasrani yang mengagungkan salib.
• Makna lafadz وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ meletakkan jizyah (upeti). Abu
Sulaiman Al-Khaththabi dan yang lainnya dari kalangan ahlul ilmi
berkata: “Tidak diterimanya upeti (dari orang-orang kafir dzimmi)
dan tidak diterima kecuali keislaman mereka. Barangsiapa dari mereka
yang membayar (jizyah) maka tidaklah cukup dengannya. Dan tidaklah
diterima kecuali keislaman atau dibunuh.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Maknanya adalah agama akan menjadi
satu (Islam), sehingga tidak tersisa seorang pun dari ahlul dzimmi
(orang kafir yang menyerahkan upeti sebagai jaminan keamanan) yang
membayar upeti.”
Kemudian beliau menyebutkan pendapat-pendapat yang lain dari para
ulama, namun semuanya dikritik oleh Al-Imam An-Nawawi. Dan yang benar
menurut beliau adalah sesuai dengan yang diucapkan oleh Al-Imam
Al-Khaththabi di atas.
Pendapat ini dikuatkan dengan sebuah riwayat dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad : “Dan seruan menjadi satu (yaitu Islam).”
• Makna lafadz وَيَفِيضُ الْمَالُ حَتَّى لَا يَقْبَلَهُ أَحَدٌ
dengan mem-fathah ya dan mengkasrah fa’ serta diakhiri huruf dha adalah
يَكْثُرُ yaitu banyak. Pada riwayat yang lain: “Diseru kepada harta
namun tidak ada seorang pun yang menerimanya.”
Hal ini karena banyaknya keberkahan yang turun serta datangnya
kebaikan (harta kekayaan) secara berturut-turut, karena keadilan dan
tidak adanya kedzaliman. Hingga muncullah pada waktu itu harta yang
terpendam dari dalam bumi bersamaan dengan kurangnya perhatian mereka
terhadap semua itu (harta) disebabkan pengetahuan mereka akan dekatnya
hari kiamat.
Pada sebagian riwayat terdapat tambahan pada akhir hadits di atas dengan lafadz:
حَتَّى تَكُونَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Hingga keberadaan satu sujud lebih baik daripada dunia dan seisinya.”
Maknanya adalah pada waktu itu mereka tidaklah mendekatkan diri
kepada Allah kecuali dengan ibadah (shalat) dan bukan bershadaqah
dengan harta. Sebagian ulama mengatakan bahwa waktu itu manusia tidak
ada keinginan terhadap dunia, sehingga satu kali sujud lebih mereka
cintai daripada dunia seisinya.
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Keinginan manusia waktu itu
kebanyakan dalam perkara shalat dan seluruh ketaatan. Karena pendeknya
angan-angan mereka disebabkan dekatnya hari kiamat, serta sedikitnya
keinginan mereka terhadap dunia disebabkan tidak butuhnya mereka akan
hal itu.”
Al-Qadhi Iyadh berkata: “Pahala terbaik yang diberikan kepada
seseorang yang menjalankan shalat lebih utama ketimbang shadaqah mereka
dengan dunia dan seisinya. Hal itu disebabkan melimpahnya harta,
minimnya kekikiran dan sedikitnya kebutuhan akan harta untuk perkara
jihad. Dan satu sujud yang dimaksud dalam hal ini adalah sujud itu
sendiri atau sebagai kiasan dari shalat.
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Keberadaan shalat lebih utama
ketimbang shadaqah adalah disebabkan melimpahnya harta di waktu itu dan
tidak bermanfaatnya harta tersebut, sampai-sampai tidak ada seorang pun
yang mau menerimanya.”
Kemudian di akhir haditsnya, Abu Hurairah berkata: “Bacalah oleh kalian, jika kalian mau:
“Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman
kepadanya (Isa) sebelum kematiannya dan di hari kiamat nanti Isa itu
akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 159)
Ucapan Abu Hurairah ini sebagai bentuk isyarat adanya sisi
keserasian terhadap lafadz: “Hingga keberadaan satu sujud lebih baik
daripada dunia dan seisinya.” Yaitu isyarat akan kebaikan manusia,
kekuatan iman dan sambutan mereka terhadap perkara kebaikan. Dalam
keadaan seperti itu, mereka lebih mementingkan satu rakaat ketimbang
dunia seluruhnya. (Fathul Bari, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits, CD
Program Mausu’atul Hadits Asy-Syarif Al-Kutubut Tis’ah)
Faedah Hadits
• Hadits di atas termasuk salah satu hadits yang menjadi dalil
tentang datangnya hari kiamat dan kepastian yang tidak diragukan akan
turunnya Nabi Isa . Hal ini dikuatkan baik dari tinjauan bahasa maupun
makna. Sebagaimana pada sebagian riwayat yang diriwayatkan Al-Imam
Ahmad, pada lafadz yang bermakna turunnya Nabi Isa menggunakan dua huruf
penguat (taukid) yaitu huruf lam dan nun taukid pada kata:
لَيَنْزِلَنَّ maknanya “sungguh-sungguh akan turun” (tidak diragukan).
Munculnya Nabi Isa di akhir zaman menjadi sebuah perkara yang
disepakati oleh para ulama Ahlus Sunnah baik yang terdahulu maupun
sekarang, berdasarkan Al-Qur`an dan hadits-hadits yang shahih. Tidak ada
yang menyelisihi dalam perkara ini kecuali orang-orang yang terdapat
penyakit dalam hatinya.
Al-Khaththabi berkata: “Turunnya Isa dan pembunuhan Dajjal oleh
beliau adalah perkara yang haq dan benar menurut ulama Ahlus Sunnah
berdasarkan hadits-hadits shahih dalam perkara ini. Tidak ada dasar baik
akal maupun syariat yang menyanggahnya, sehingga wajib untuk menetapkan
pendapat tersebut.”
Meskipun demikian, sebagian kalangan Mu’tazilah maupun Jahmiyah
serta yang sependapat dengan mereka tetap mengingkari hal ini. Mereka
berpendapat bahwa hadits-hadits yang mengabarkan dalam perkara ini
tertolak.
Mereka berdalil dengan ayat:
“Dan penutup nabi-nabi.” (Al-Ahzab: 40)
Dan dengan hadits Nabi: “Tidak ada nabi setelahku.”
Juga dengan kesepakatan kaum muslimin bahwa tidak ada nabi setelah
nabi kita Muhammad SAW, syariatnya berlaku hingga hari kiamat dan tidak
dihapus.
Semua pendalilan ini rusak (tidak sah) karena turunnya Nabi Isa u
tidaklah turun dalam kapasitasnya sebagai nabi (baru) dengan membawa
syariat yang menghapus syariat Nabi kita Muhammad SAW. Dan tidak ada
sesuatu yang membenarkan pendapat mereka pada hadits-hadits yang shahih
maupun yang lainnya.
• Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini pada beberapa tempat
dalam Shahih-nya, di antaranya pada Kitabul Buyu’ (Jual Beli). Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata: “Dimasukkannya hadits tersebut pada bab ini adalah
sebagai isyarat bahwa hewan yang diperintahkan untuk dibunuh, maka
tidak diperbolehkan untuk diperjualbelikan. Juga diharamkan pemanfaatan
dan memakannya, serta bahwa babi adalah hewan yang najis. Hal ini
ditinjau dari sisi bahwa sesuatu yang dapat diambil manfaatnya tidak
disyariatkan untuk dirusak (dibinasakan).”
• Beliau juga meriwayatkan hadits ini pada Kitabul Mazhalim.
Kedzaliman/ ketidakadilan adalah nama yang dipakai untuk menunjukkan
sesuatu yang diambil bukan dengan cara yang haq (benar), atau meletakkan
sesuatu tidak pada tempatnya yang syar’i. Sisi pendalilan hadits dalam
bab ini adalah adanya isyarat bahwa barangsiapa membunuh babi-babi dan
menghancurkan salib maka tidak dituntut untuk membayar denda (artinya
hal itu bukan merupakan bentuk kedzaliman). Karena hal itu merupakan
perbuatan yang diperintahkan oleh syariat (Islam), dan Nabi telah
mengabarkan bahwa Nabi Isa akan melakukannya. Di mana Isa turun dalam
keadaan membawa syariat yang sama dengan syariat Nabi kita Muhammad SAW.
Diperbolehkannya menghancurkan salib (dalam hal ini) berlaku pada
orang-orang kafir harbi (orang kafir yang memusuhi/memerangi Islam) atau
pada orang-orang dzimmi yang melanggar batas ketentuan. Apabila
orang-orang dzimmi tidak melanggar batas ketentuan namun seorang muslim
menghancurkan salib mereka (kafir dzimmi), hal ini dianggap sebagai
bentuk pelanggaran (kedzaliman). Sesuai dengan apa yang mereka pahami
bahwa apabila telah membayar upeti maka terjamin keamanannya.
Di sinilah letak rahasia, kenapa Nabi Isa menghukumi secara rata
dalam menghancurkan salib di waktu itu. Karena beliau diutus untuk
meletakkan/ menghapus upeti (tidak menerimanya). Dan hal ini bukanlah
dianggap sebagai bentuk penghapusan atas syariat Nabi kita Muhammad SAW.
Bahkan yang menghapus adalah syariat Islam melalui sabda beliau pada
hadits di atas dan beliau menyetujui segala apa yang akan dilakukan Nabi
Isa (mengikrarkannya).
• Bolehnya mengubah kemungkaran dan menghancurkan atau merusak
sarana-sarana kebatilan dengan catatan tidak mengakibatkan kerusakan
yang lebih besar. (Fathul Bari, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits)
Faedah lain yang berkaitan dengan Isa Al-Masih bin Maryam
• Hikmah turunnya Nabi Isa pada waktu yang dekat dengan hari
kiamat dan bukan waktu yang lainnya. Al-Imam Al-Qurthubi t dalam
kitabnya At-Tadzkirah (hal. 562-563)
menyebutkan beberapa kemungkinan:
Pertama: Keinginan orang-orang Yahudi untuk membunuh dan
menyalibnya. Dan perkara ini berjalan sebagaimana yang Allah k beritakan
dalam Al-Qur`an, mereka mengaku telah membunuh Nabi Isa, menisbahkan
sihir dan perkara yang Allah tiadakan dan Allah sucikan beliau dari
semua itu, kepada beliau.
Kemudian Allah menurunkan kepada mereka kehinaan sejak mulia dan
nampaknya Islam. Hal ini berlanjut hingga saat dekatnya hari kiamat.
Kemudian muncullah Dajjal sebagai tukang sihir yang paling utama.
Orang-orang Yahudi kemudian membaiatnya hingga pada akhirnya kaum
muslimin memerangi mereka dan tidak mereka dapati tempat persembunyian
hingga pohon, batu, maupun dinding pun menyerukan tempat di mana mereka
bersembunyi.
Hingga mereka dihadapkan kepada dua perkara: masuk Islam atau
dibunuh. Dan begitulah yang berlaku atas setiap orang kafir dari semua
golongan, hingga tidak tertinggal di muka bumi ini seorang kafir pun.
Kedua: turunnya Nabi Isa menunjukkan pada dekatnya ajal beliau,
bukan dalam rangka membunuh Dajjal. Karena tidak sepantasnya bagi
makhluk yang diciptakan dari tanah untuk meninggal di langit. Akan
tetapi perkaranya berjalan sebagaimana yang Allah l firmankan:
“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya kami
akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada
kali yang lain.” (Thaha: 55)
Maka Allah l turunkan Nabi Isa untuk dikuburkan di bumi
sebagaimana para nabi yang lain. Itulah sebab diturunkannya Nabi Isa ,
meskipun bersamaan di waktu itu muncul Dajjal.
Ketiga: didapatkan dalam Injil tentang keutamaan umat Muhammad sebagaimana yang tersebut dalam ayat:
“Demikianlah sifat-sifat mereka (umat Muhammad) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil.” (Al-Fath: 29)
Kemudian Nabi Isa berdoa agar Allah l menjadikan dirinya termasuk
dari umat Muhammad SAW. Dan Allah pun mengabulkan doanya, kemudian
mengangkatnya ke langit sampai diturunkannya kembali pada akhir zaman
sebagai seorang mujaddid (pembaharu) agama Nabi Muhammad . Bersamaan itu
pula muncullah Dajjal dan beliau pun membunuhnya.
• Para ulama berselisih pendapat dalam menanggapi lafadz Al-Masih hingga mencapai 23 pendapat. Di antaranya:
- Ibnu ‘Abbas menyatakan: “Tidaklah beliau mengusap seseorang yang
berpenyakit kecuali sembuh. Tidak pula mayat kecuali hidup kembali.”
- Dinamai Al-Masih karena bagusnya wajah beliau (tampan) karena kata Al-Masih secara bahasa bermakna wajah yang tampan.
- Ada yang berpendapat dinamai Al-Masih karena beliau mengembara.
Kadang berada di Syam, di Mesir, menyusuri pantai dan lain-lain.
Al-Hafizh Abu Nu’aim dalam kitabnya Dala`ilun Nubuwwah
menjelaskan: “Ibnu Maryam dinamai Al-Masih, karena Allah l menghapuskan
dosa-dosa darinya.” Pada tempat lain beliau berkata: “Dinamai demikian
karena Jibril mengusap beliau dengan barakah.
Hal ini sebagaimana firman Allah :
“Dan Dia menjadikan aku sebagai seorang yang diberkati di mana saja aku berada.” (Maryam: 31)
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking